bogorplus.id- Di balik kilauan emas Gunung Pongkor yang terletak di Kecamatan Nangung, Kabupaten Bogor, tampaknya ada luka lingkungan dan keresahan warga sekitar.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat melakukan investigasi, aktivitas tambang baik legal oleh PT Antam maupun, ilegal oleh Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
Mereka melihat, pengerukan hasil bumi itu telah membawa dampak serius bagi masyarakat dan alam Kecamatan Nanggung.
“Operasi tambang itu merusak, sangat aneh jika dipersilakan masuk dengan leluasa,”ujar Tim Advokasi Walhi Jabar Fauqi, Jumat (18/4).
Walhi mencatat, setidaknya terdapat 50 hingga 100 titik lubang tambang ilegal tersebar di wilayah tersebut, termasuk di Kampung Ciguha, Desa Bantar Karet.
Sayangnya, ketidaktegasan aparat dan pemerintah daerah justru membuat pelanggaran ini terkesan lumrah.
Padahal, dalam Pasal 67 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), disebutkan bahwa setiap orang wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kawasan Kecamatan Nanggung yang tercantum dalam Pasal 43 Perda RTRW Kabupaten Bogor sebagai wilayah lindung dan penyangga, kini justru berubah fungsi.
“Tata ruang sering kali tumpang tindih dengan kepentingan lain. Bahkan bisa saja satu kawasan yang seharusnya dilindungi, malah dijadikan zona pertambangan,”tegasnya.
Sejak PT Antam mendapat kuasa pertambangan seluas 4.058 hektare pada tahun 1990, aktivitas eksploitasi terus meluas.
Limbah hasil pemurnian emas, termasuk ribuan liter limbah sianida setiap hari, telah mencemari Sungai Cikaniki.
Sungai yang dulunya bersih kini menghitam dan pernah menyebabkan kematian massal ikan pada 2009.
“Warga mengalami iritasi kulit karena masih menggunakan sungai itu untuk kebutuhan harian,” jelasnya.
Ketimpangan kewenangan menjadi sorotan penting. Setelah Undang-Undang Cipta Kerja diberlakukan, kewenangan pengelolaan pertambangan beralih sepenuhnya ke pemerintah pusat.
Hal ini membuat peran pemerintah daerah dinilai semakin lemah, terutama dalam mengontrol dan menindak pelanggaran di lapangan.
Ironisnya, masyarakat yang terdampak justru kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
“Padahal mereka punya hak untuk terlibat, apalagi dalam proses AMDAL yang wajib melibatkan publik,” lanjutnya.
Kini, ketika emas di perut Pongkor hampir habis, masyarakat harus mendorong upaya pemulihan lingkungan.
Bukan hanya menuntut pertanggungjawaban perusahaan dan pemerintah, tapi juga mengorganisasi diri agar tak terus-menerus jadi korban.
“Jangan sampai setelah emas habis, yang tertinggal hanya lubang, racun, dan kemiskinan,”pungkasnya.