Panja RUU TNI: Digelar di Hotel Bintang 5 hingga Protes Koalisi Sipil

bogorplus.id – Rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilaksanakan di Fairmont Jakarta pada 14-15 Maret 2025.

Rapat Panja antara Komisi I DPR-RI dan Pemerintah ini dimulai pada Jumat (14/3/2025) pukul 13.30 WIB.

Sesi rapat kemudian dilanjutkan pada Sabtu (15/3/2025) pada pukul 10.00 dan diperkirakan akan berakhir pada pukul 22.00 WIB.

Para anggota Dewan Komisi I direncanakan untuk tidak langsung meninggalkan hotel setelah pembahasan selesai.

Mereka akan check out atau keluar dari hotel bintang lima yang berlokasi hanya dua kilometer dari Komplek Parlemen Senayan, Jakarta itu pukul 10.00 WIB pada Minggu (16/3/2025).

Sesuai dengan peraturan yang ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR-RI Indra Iskandar, rapat Panja DPR RI di hotel mewah tersebut telah sesuai dengan tata tertib yang ada.

“Aturan berkaitan dengan rapat-rapat dengan urgenitas tinggi itu dimungkinkan untuk tidak di gedung DPR. Itu diatur di tatib Pasal 254 aturannya, dengan izin pimpinan DPR ini sudah dilakukan,” ungkap Indra, Sabtu.

Berdasarkan regulasi tersebut, Sekretariat Jenderal DPR-RI pun menjajaki beberapa hotel yang lokasi yang memungkinkan untuk menjadi tempat pembahasan RUU TNI tersebut.

Akhirnya, Hotel Fairmont dipilih karena sesuai dengan format rapat Panja dan memenuhi standar biaya masukan DPR-RI.

“Jadi itu pertimbangannya dan itu sudah prosedur-prosedur itu sudah kita lakukan, karena ini memang rapat-rapat tentu, karena ini sifatnya maraton dan simultan dengan urgenitas tinggi, memang harus dilakukan di tempat yang ada tempat istirahat,” tambahnya.

Sekjen DPR juga menyatakan bahwa setiap anggota Panja revisi UU TNI diberikan kamar masing-masing untuk mendukung durasi rapat yang panjang.

“Jadi butuh waktu istirahat dan paginya harus mulai lagi gitu ya, jadi memang harus dicari tempat-tempat yang memungkinkan untuk ada waktu untuk beristirahat juga,” imbuhnya.

Pada hari pertama rapat, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), TB Hasanuddin menjelaskan, bahwa pembahasan berfokus pada daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah.

Dalam diskusi tersebut, salah satu topik utama adalah mengenai usia pensiun dan perhitungan pangkat terakhir prajurit.

Revisi UU TNI ini mencakup penambahan usia dinas keprajuritan serta perluasan peluasan penempatan prajurit aktif di Kementerian dan lembaga.

Secara spesifik, revisi ini berencana menetapkan penambahan usia masa dinas keprajuritan hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, sementara masa kedinasan bagi perwira dapat menjalani dinas hingga usia 60 tahun.

Selain itu, ada kemungkinan masa kedinasan diperpanjang hingga 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.

Hassanuddin juga menyebutkan bahwa pada malam sebelumnya mereka baru bisa menyelesaikan sekitar 40 persen dari total 92 DIM yang ada.

Di sisi lain, terjadi protes dari koalisi masyarakat sipil. Tiga aktivis yang tergabung dalam koaluisi tersebut berusaha memasuki ruang rapat Panja revisi UU TNI yang diadakan di ruang Ruby 1 dan 2 Fairmont Hotel, Jakarta.

Salah satu aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andrie, tampak mendesak untuk masuk ke dalam ruangan sambil mengenakan baju hitam.

Namun, ia terhalang oleh dua orang staf yang mengenakan baju batik, sempat didorong keluar dan terjatuh.

“Woi, anda mendorong, teman-teman, bagaimana kita kemudian direpresif,” teriaknya sambil berusaha bangkit lagi.

Andrie bersama dua aktivis lainnya berteriak menuntut mereka di depan pintu yang telah tertutup, meminta agar pembahasan RUU TNI tersebut dihentikan.

Dalam penyampaian tuntutannya, Koalisi Masyarakat Sipil menganggap bahwa pembahasan RUU TNI di hotel mewah ini mencerminkan rendahnya komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi.

Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, mengungkapkan bahwa secara substansi, RUU TNI masih memuat pasal-pasal yang bermasalah dan berpotensi mengancam demokrasi serta penegakan HAM di Indonesia.

Selain itu, agenda revisi UU TNI dianggap dapat melemahkan profesionalisme militer dan beresiko mengembalikan dwifungsi TNI.

“Perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, serta loyalitas ganda,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *