bogorplus.id- Presiden Prabowo Subianto diminta turun tangan melakukan audit investigasi menyeluruh terhadap dugaan korupsi pengadaan batu bara di Subholding PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI).
Koalisi Sipil Anti Korupsi menilai skandal ini berpotensi merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah akibat manipulasi kualitas dan harga batu bara.
“Sudah saatnya Presiden memanfaatkan sistem digital untuk mengaudit pengelolaan batu bara secara menyeluruh dan transparan,” ujar Koordinator Koalisi Sipil Anti Korupsi, Ronald Loblobly, usai menyerahkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo, Rabu (27/5).
Menurut Ronald, PLN EPI selama bertahun-tahun telah menerima pasokan batu bara dengan kualitas jauh di bawah standar.
“Yang dibutuhkan pembangkit PLN adalah batu bara kalori 4.400 hingga 4.800 GAR, tapi yang dipasok hanya 3.000 GAR,” jelasnya.
Ia menyebutkan, pada tahun 2023, kebutuhan batu bara PLN EPI mencapai 161,2 juta metrik ton.
Dengan asumsi kerugian dari manipulasi harga dan kualitas mencapai 40% dari total pasokan, maka potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp15 triliun per tahun.
Tak hanya itu, Ronald juga menyoroti dugaan keterlibatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, dalam melindungi kepentingan sejumlah pemasok.
Ia menyebut nama-nama perusahaan seperti PT Oktasan Baruna Persada, PT Rizky Anugrah Pratama, dan PT Buana Rizky Armia sebagai aktor utama di balik praktik ini.
“Jampidsus diduga menjadi intimidator yang mengamankan kepentingan para perusahaan itu,”tuturnya.
PT Oktasan Baruna Persada, kata Ronald, mendapat kontrak sebesar 2,1 juta metrik ton per tahun sejak 2018 hingga 2026.
Sementara melalui konsorsium dengan PT Buana Rizky Armia, perusahaan ini juga mengamankan tambahan kontrak 819 ribu metrik ton per tahun hingga 2032.
Lalu, PT Buana Rizky Armia sendiri memiliki kontrak 1,49 juta metrik ton per tahun dari 2022 hingga 2027.
Kerusakan Sistem PLTU dan Pembebanan Biaya Tambahan
Ronald menyebut, batu bara berkualitas rendah ini tak hanya merugikan secara finansial, tapi juga mempercepat kerusakan pada peralatan pembangkit listrik, khususnya boiler dan sistem coal handling.
“Biaya tambahan untuk perbaikan peralatan sangat besar, dan ini belum dihitung sebagai bagian dari kerugian negara,” tegasnya.
Menurutnya, beberapa perusahaan lain yang melakukan pelanggaran serupa bahkan dikenakan setoran wajib sebesar Rp150 ribu per metrik ton, namun tidak berlaku untuk tiga perusahaan di atas.
Ronald menegaskan bahwa Koalisi Sipil Anti Korupsi mendukung penuh langkah-langkah pemberantasan korupsi Presiden Prabowo.
Namun, ia memperingatkan bahwa misi tersebut akan sulit tercapai jika justru aparat penegak hukum menjadi bagian dari masalah.
“Presiden punya niat mulia untuk menyejahterakan rakyat. Tapi akan sia-sia jika korupsi justru terjadi saat pemberantasan korupsi itu sendiri dijalankan,”ucapnya.
Ia juga mengkritisi gaya penanganan kasus di Kejaksaan Agung yang dinilai penuh pencitraan.
“Setiap hari diumumkan tersangka yang digiring ke mobil tahanan seolah itu prestasi besar. Kerugian negara disebut fantastis, tapi tanpa metodologi yang jelas. Ini bukan penegakan hukum, tapi pertunjukan,” pungkasnya.