bogorplus.id – Anggota DPRD Kota Bogor dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Sugeng Teguh Santoso (STS), mengungkapkan dukungannya untuk ratusan penduduk Kampung Babakan Baru (BBR) Cipaku dalam Rapat Kerja Komisi I DPRD yang berlangsung bersama Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) serta Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Bogor.
Rapat tersebut dilaksanakan di Gedung DPRD Kota Bogor sebagai bagian dari evaluasi bersama mitra kerja Komisi I, Selasa (24/6/2025).
Di dalam rapat itu, STS membawa perhatian pada masalah serius mengenai status tanah yang dihuni oleh penduduk BBR Cipaku.
Ia menjelaskan bahwa tanah tersebut sebelumnya telah diserahkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor kepada warga melalui surat kapling pada tahun 1982 dan 1985, sebagai bagian dari upaya relokasi korban banjir sepanjang aliran Sungai Cibalok.
Namun, saat ini Pemkot menyatakan bahwa warga bukan pemilik sah tanah tersebut, melainkan hanya sebagai penyewa yang harus membayar sewa kepada pemerintah.
“Sebagai wakil rakyat, saya mengambil posisi membela kepentingan rakyat. Pembelaan saya ini bukan tanpa dasar,” kata STS di hadapan peserta rapat.
STS menyatakan bahwa dia telah meninjau berbagai dokumen dari warga, termasuk surat edaran dari Pemkot Bogor mengenai relokasi, serta surat kapling yang mencantumkan identitas penerima dan lokasi tanah.
Ia juga merujuk pada surat dari BKAD Kota Bogor tertanggal 30 April 2025 yang ditujukan kepada Ketua DPRD Kota Bogor.
Dari surat tersebut, STS menegaskan bahwa Pemkot Bogor memang memiliki tanah di BBR Cipaku berdasarkan ruislah yang terjadi pada tahun 1970.
Namun, keputusan Pemkot untuk menyerahkan tanah kepada warga pada 1982 dan 1985 dianggap sah dan logis sebagai kewajiban pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
“Dua fakta ini berkesesuaian. Tapi kemudian muncul satu kesimpulan dari Pemkot yang menyatakan membatalkan hak warga hanya karena tidak membayar uang pengganti Rp2.000 per meter. Itu tidak dijelaskan kapan dilakukan dan tidak ada keputusan wali kota yang mendasarinya,” ungkapnya.
STS mengkritik keras tindakan sepihak dari Pemkot Bogor tersebut.
“Pembatalan hak warga harus dilakukan melalui satu keputusan tata usaha negara, bukan penilaian sepihak. Di surat 30 April juga tidak ada lampiran atau kejelasan waktu pembatalannya,” ujarnya.
Lebih lanjut, STS menilai argumen Pemkot tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Ia mengutip dari surat kapling yang mengatur syarat pembatalan hak sebagai berikut:
1. Warga dilarang menjual atau mengalihkan hak mereka kepada pihak lain (poin 2),
2. Warga diharuskan membangun dalam jangka waktu satu tahun (poin 3),
3. Jika dua syarat di atas tidak dipenuhi, hak dapat dibatalkan (poin 4).
“Syarat batal tidak menyebutkan pembayaran uang pengganti Rp2.000 per meter. Bahkan di poin 5 disebutkan pembayaran dilakukan kemudian, selama-lamanya dua tahun, tapi tidak dijelaskan batas waktunya. Jadi argumen Pemkot tidak tepat,” tegasnya.
STS juga mempertanyakan keabsahan perjanjian sewa-menyewa yang muncul pada 2011, yang menurutnya “batal demi hukum” karena tidak didasarkan pada pembatalan yang sah terhadap surat kapling.
Mewakili tanggung jawab pengawasan DPRD, STS menuntut tiga langkah strategis:
1. DPRD harus membela hak warga atas tanah di BBR Cipaku dengan semestinya.
2. DPRD perlu menanyakan kepada Wali Kota Bogor mengenai jadwal pelaksanaan Gugus Tugas Pertanahan.
3. DPRD mendorong diadakannya pertemuan yang seimbang antara DPRD, Pemkot, warga, dan pihak terkait lainnya.
“Harus ada pernyataan sikap dari masing-masing pihak dan dibuatkan notulensinya,” kata STS.
Ia menambahkan bahwa jika Pemkot tetap tidak memberikan respons, DPRD perlu mempertimbangkan untuk menggunakan hak interpelasi.
STS juga menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi ekonomi warga.
“Warga tidak bisa lagi dibebani kewajiban sewa. Mereka punya hak atas tanah itu. Apalagi saat ini kondisi ekonomi sangat sulit, bahkan kita tahu ada 7,3 juta penerima manfaat BPJS PBI sudah dibatalkan,” ujarnya.
Menanggapi kemungkinan adanya temuan dari BPK mengenai kewajiban penagihan sewa, STS memberikan pandangannya.
“Jika BPK menyatakan wajib ditagih, saya menilai BPK belum mendalami asal-usul tanah ini. Harus ada pemeriksaan terhadap hak warga dengan melakukan suatu pemeriksaan atau wawancara langsung dengan warga,” tegasnya.
Sebagai penutup, STS mendorong agar segera diadakan pertemuan setara untuk membahas masalah ini.
“Saya mendesak, segera diadakan pertemuan yang setara antara Pemkot, DPRD, warga BBR Cipaku, dan pihak lain yang berkepentingan,” tutup STS.